Kamis, 21 April 2016

Wayang, Seni Budaya Adiluhung dan Berfilosofi Tinggi

Wayang kulit | Sumber : brownez-koekoez.deviantart.com

Siapa yang tidak kenal dengan kesenian wayang. Wayang merupakan kekayaan budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Wayang merupakan sebuah pertunjukan boneka asli Indonesia. Pertunjukan wayang dapat dimaknai sebagai pertunjukan tentang “bayang-bayang” atau refleksi manusia. Dikutip dari Wikipedia, UNESCO lembaga yang membawahi kebudayaan dari PBB menetapkan wayang sebagai pertunjukkan bayangan boneka tersohor dari Indonesia, sebuah warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity)  pada 7 November 2003.

Menurut menurut bahan pembuatannya, wayang memiliki berbagai jenis yaitu: Wayang Kulit, Wayang Kayu, Wayang Orang, Wayang Rumput, Wayang Motekar, Wayang Rumput, dan Wayang Motekar. Sedangkan jenis-jenis wayang menurut daerah yaitu: Wayang Surakarta, Wayang Jawa Timur, Wayang Bali, Wayang Sasak (NTB), Wayang Kulit Banjar (Kalimantan Selatan), Wayang Palembang (Sumatera Selatan), Wayang Betawi (Jakarta), Wayang Cirebon (Jawa Barat), Wayang Madura (sudah punah), dan Wayang Siam (Kelantan, Malaysia).

Kisah kehidupan dunia wayang berkisah seperti dunia manusia. Ketika wayang dipentaskan, wayang mempunyai dua sisi pandang. Pertama : wayang yang dipertontonkan merupakan sebuah wayangan (bayangan) belaka. Kedua : wayang yang aslinya tetap dipegang oleh dalang. Hal ini pengibaratan dari jiwa makhluk yang selalu mempunyai dua sisi yang berbeda, ada yang dipertontonkan kepada makhluk lain dan ada juga yang tidak (sirri), namun pada intinya selalu digenggam oleh sang ‘dalangnya.

Dalam wayang pun terdapat berbagai macam tokoh yang memepunyai sifat yang berbeda. Salah satunya adalah 5 Pandawa yang terdiri dari Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa.

Tak hanya pertunjukan saja. Wayang  memiliki makana filosofis yang dalam. Salah satunya adalah wayang kulit, salah satu seni tradisional yang berkembang pesat di pulau jawa. Berikut penjelasan makna filosofis wayang kulit yang dikutip dari sekul.pun.bz :

Dalang
Dalang dalam pergelaran wayang kulit adalah yang mengatur jalannya sebuah cerita atau lakon. Tanpa dalang, wayang tentu tidak akan pernah bisa mainkan. Dalang di ibaratkan sebagai sutradara kehidupan (Tuhan) yang mengatur sifat, hidup, mati, serta kelakuan dari tokoh kehidupan(makhluk). Secara bahasa , kata dalang merupakan pengalihan dari bahasa Arab yaitu “Dalla”, yang berarti “Menunjukkan”. “Man dalla ‘ala al-Khairi Kafa’ilihi,” barang siapa menunjukkan dan mengajak pada kebaikan, maka (pahalanya) laksana pelaku kebaikan tersebut.

Beber atau layar putih
Beber adalah penggambaran dari bumi yang pada awal penciptaanya masih suci sebelum dihuni oleh makhluk apa pun. Namun, ketika makhluk sudah memasuki bumi, maka bumi secara perlahan akan tercemari oleh kelakuan dan watak dari makhluk itu sendiri. Itulah yang akan menjadikan penilaian bumi hitam atau lembah hitam dan putih. Akan tetapi di akhir cerita, beber pun akan kembali putih . Ini mengibaratkan bahwa kelak makhluk apapun yang ada di bumi ini akan diluluh lantakkan dari atas bumi ini sehingga beber akan kembali putih seperti sedia kala.

Kelir (batang pohon pisang)
Kelir ibarat sebuah raga yang dihuni oleh jiwa yang berbentuk wayang. Kelir tidak akan berguna tanpa adanya wayang yang ditancapkan. Kelir hanya digunakan ketika wayang dipentaskan di atas beber, dan ketika wayang sudah tidak di pentaskan, maka kelir akan dibuang ke tempat sampah. Makna filosofinya adalah raga hanya akan berguna ketika jiwa masih menancap, namun ketika raga sudah tidak ada jiwanya , maka seakan raga sudah tidak lagi berguna.

Blencong (lampu penerang di depan layar)
Blencong ibarat sebuah cahaya (wahyu) kehidupan. Tanpa adanya blencong, wayang pun tidak bisa dimainkan sekalipun wayang sudah menancap di atas kelir. Ini pengibaratan dari jiwa dan raga dari makhluk , bahwa makhluk takkan bisa hidup tanpa adanya cahaya, Dan cahaya (wahyu) kehidupan hanyalah milik sang maha pencipta ( Allah).

Pethi (kotak kayu)
Peti dalam wayang berfungsi untuk menyimpan wayang, baik yang belum digunakan atau pun yang sudah mati atau di gunakan. Peti ibarat sebuah kuburan bagi tokoh-tokoh yang sudah mati dan tidak dimainkan. Walaupun hidup seperti apa pun , pada akhirnya tokoh akan terkunci pada tempat gelap, sempit, dan pengap.

Dikutip dari pepadijateng.com Wayang diartikan sebagai bayang (bayangan), sehingga memiliki dua makna yaitu: bayangan yang ditonton (dilihat dari belakang layar), dan melihat bayangan perilaku kehidupan manusia yang memberikan pemahaman antara perilaku yang baik dan buruk. Kedua perilaku tersebut secara fisik (bentuk dan norma wayang) juga terlihat secara jelas. 

Wayang kulit | Sumber : wayangan.com

Selain itu ketika diperhatikan dengan seksama ternyata setiap wayang memiliki warna wajah/muka yang berbeda. Ada yang berwarna merah, hitam, bahkan hijau keunguan. Perberbedaan warna wajah tersebut juga memiliki arti yang berbeda pula. Muka wayang berwarna hitam menunjukkan seorang kesatria yang memiliki kemantapan diri sebagai panutan (kesatria). Muka wayang berwarna merah menunjukkan seorang yang memiliki panutan sebagai punggawa atau manggala.

Selain muka wayang yang mempunyai warna yang berbeda ciri lain terdapat pada lengan wayang. Ada wayang yang lengannya dua  yaitu yang normal, ada wayang dengan dua tangan, akan tetapi satu satu tangannya masuk ke dalam saku (bala buta), dan seterusnya, semua penggambaran tersebut yang mencirikan makna yang berbeda pula.

Semua ciri yang ada pada wayang menggambarkan makna dari wayang itu sendiri. Yang tentunya memiliki makna yang mendalam dan sesuai dengan kepribadian. Budaya menunjukkan identitas dan jatidiri bangsa. Salah satunya adalah Wayang yang memiliki nilai filosofis yang tinggi. Sebagai sebuah kebudayaan, wayang mencerminkan aspek-aspek kepercayaan, tradisi, sistem sosial, pandangan hidup atau pola pikir masyarakat pendukungnya. Nilai dan makna yang terkandung dalam wayang menjadi tuntunan bagi masyarakat.

Nilai-nilai positif yang terkandung dalam wayang serta makna dan ajaran wayang tentang ketuhanan, etika, moral dan budi pekerti dalam memaknai kehidupan manusia, baik sebagai individu, anggota masyarakat, atau dalam hubungannya dengan alam dan Sang Pencipta dapat menjadi inspirasi untuk kita. Jadi tidaklah mengherankan bahwa seni budaya pewayangan sebagai salah satu seni budaya Indonesia yang diakui oleh UNESCO dan kita sebagai generasi penerus harus mempertahan dan melestarikannya. 








-Priskyra
Referensi dan sumber lain: kebudayaan.kemdikbud.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar